Visit My old blog

Sunday 14 December 2014

Two six four nine


Dia dari Hungaria, kalau dia dari Italia, dia Cina, dia Georgia, Polandia, Jerman, India, Korea, Irlandia, dan terakhir Inggris. Mereka teman sehidup semati sejak EK 369 pada 17 oktober lalu landing di DXB International Airport.
Teman dekatku adalah dia yang dari Hungaria, Hungaria adalah sebuah negara republik di tengah eropa sana. Vivianne bilang negaranya sangat cantik, banyak orang bilang ‘hungary is the paris of eastern europe’. Minggu lalu aku mengirimi dia update instagram dari company baru kami, destinasi baru ke ‘Budapest’ Ibu kota Hungaria, destinasi para turis. Aku merasa vivianne adalah versi manusia dari Negaranya, Quiet, don’t talk to much unless she’s in a good mood or in a big mess, picky to talk and friend with, emotional, sporty and nature lover. Vivianne sangat menuntut seni berlaku sopan pada orang lain, dia pernah melotot dan membenci salah satu teman kelas kami hanya karena teman kami ini pernah sedikit (sedikit dalam artian sesungguhnya) saja mendorong punggungnya waktu berdesakan menuju kelas. Watch out!
Teman sekaligus tetangga di temporary accomodationku adalah Mr.Italia. Kamarnya cuma beda satu nomor dari kamarku. Dia adalah sungguh refleksi dari cowok Italia, kecuali jiwa Casanovanya yang tidak untuk wanita karena dia gay. Untuk mengakuinya, yes, He doesn’t mind at all.. He’s super picky and super perfectionist for every single thing, makan harus ditempat yang lux dengan makanan yang menurut dia punya standard di lidahnya, baju dan sepatu harus match dan branded, parfum adalah udel keduanya. Pernah suatu hari, aku dan Vivianne waktu lewat sebuah konter parfum bvlgari, nyaris berbarengan kita melengos dan sama-sama tahu itu bau mr.italia. Hangout bersama Mr.italia selalu berakhir tekor uang banyak. Dan yah, dia manusia penghambur uang paling ahli, pergi clubbing taking seat yang bisa kena cost juta’an, nonton movie harus yang eksklusif pake sofa, take taxi yang limousine. However, Mr.italia sangat loveable, rajin nelponin dan gedor kamar karena habis masakin risotto, atau beli sejibun DVD baru, dan ngajakin nonton walaupun besok kita ada ujian. Go away!
Zhen teman kami dari Cina yang paling dicintai, dia mungkin bakal loncat tembok besar cina kalau itu untuk membahagiakan teman-temannya. You know this kind of person. He is smart, very helpful, very gentleman and he has such a good organizing skill. Hidupnya saat ini, dia sedang main petak umpet, orang tuanya di Cina tidak pernah tau kalau dia sudah jadi cabin crew. Kelemahan terbesarnya adalah, disuruh pulang dan meneruskan kehidupan bisnis orang tuanya, semacam tao ming tse versi cina. Terlepas dari itu, dia adalah seksi penyelenggara dari kebanyakan acara-acara kami. Dibalik semua kejutan, disitulah Zhen berdiri. Pernah sewaktu aku ulang tahun, dan kita setuju untuk ambil tour di desert, di tengah malam usai para penari perut turun panggung, tiba-tiba ada lagu selamat ulang tahun, dan semua orang tepuk tangan. He gave me a warm hug, and yeah he is always loveable. Dan dia tau banyak hal, mau tanya restoran paling enak di Dubai, tanya zhen, mau tanya tempat party paling ngetop, tanya zhen, mau tanya kapan kita graduation, berapa persen charge kredit card di bank NBD, HSBC, dan lain lain tanya zhen. Semuanya, tanya zhen. Okay!
Miss Georgia, Iana, dia punya masalah setiap kali introducing herself. Tersendat di bagian negara asal, yeah semua orang mengira Georgia yang ada di Amerika Serikat, padahal sebenarnya South Georgia Sandwich island, British overseas territory, tepatnya di selatan samudra atlantik, anyway yah begitulah. She is super funny, walaupun kesan pertama adalah sangat menyebalkan karena dia punya kebiasaan angkat dagu sambil ngomong. Georgia, sampai saat ini setelah dua bulan berteman she keep calling me malaysian. Butuh pause beberapa detik sebelum akhirnya dia bilang ‘oohhh indonesian’. Dia sangat ibu-ibu, selalu sempat masak dikala homework dan ujian sejibun semasa training, dan anehnya selalu dapat nilai 100, dia selalu dapat barang berkualitas dengan diskon menakjubkan, dia tau bagaimana menghemat uang dengan menghindari costa cafe (Coffee shop legendaris tongkrongan cabin crew di Training Collage). Economize!

 To be continued.

Saturday 13 September 2014

Awan Berkata (Chapter 1 Morning Dragging, part 2)

Briefing Room MerlionAir, Singapore Changi Airport

            Aku sampai di airport tepat 15 menit sebelum briefing dimulai.

“Morning!, hy morning, I’am kenes , nice to meet you”, kalimat ini seakan dan memang lebih penting dari sarapan pagi. Bahkan selama ini aku bisa survive tanpa sarapan setiap kali dapat jatah morning flight, tapi rasanya tidak akan bisa survive tanpa kalimat barusan. “Put a smile on your face for every handshake”, sampai sekarangpun masih pakai senyum walaupun dibilang ‘sudah agak senior’. Beberapa senior ada yang sudah ‘tanpa senyum’  kalau mau jabat tangan. Padahal beberapa senior yang sudah karatan saking lamanya disini ada yang masih sangat baik, bahkan mau lebih dulu menyalami junior. Culture-nya adalah, kalau anda senior dan masuk briefing room, maka begitu anda buka pintu keramat briefing room, kejadian berikutnya adalah anda dikerubungi para junior di dalam briefing room untuk menyalami anda. Tapi kalau anda adalah sang junior, begitu anda buka pintu keramat maka yang anda lihat adalah semua crew masih duduk tenang ditempatnya masing-masing tanpa perduli dengan kehadiran anda, tapi di dalam hati menunggu anda untuk datang dan menyalami mereka. Jadi usai menutup pintu keramat, anda harus datang menyalami satu persatu crew baru kemudian bebas melanjutkan pekerjaan anda.

Usai menyalami beberapa crew dan juga disalami beberapa crew aku bergegas menuju sisi briefing room tempat komputer-komputer untuk check in dan checking load passenger.  Hari ini seperti hari biasanya. Flying hour atau jam terbangku beberapa bulan terakhir selalu diatas 100 jam, dan itu membuat lahirnya kantung mata dan menyusutnya berat badan, juga otot-otot yang kehausan tukang pijit. Aku membenci rosterku yang serasa mirip komidi putar, putar kanan dan kiri sesuka hati. Kadang aku bangun dipagi buta, memanggil taxi dipinggir jalan, saat semua orang masih ada di dalam selimut. Kadang aku pulang pagi-pagi berjalan bersisipan dengan orang kantoran yang sedang berangkat kerja. Kadang juga aku pulang pagi buta, berjingkat-jingkat memasuki ruang tamu sambil menarik koper, takut sampai-sampai orang dirumah terbangun. Aku tidur dan terbangun hampir pada jam yang sangat berbeda setiap harinya. Ini membuat body clock-ku tidak bisa di set paten.

Aku duduk di salah satu meja dengan sofa panjang di depan vending machine. Dulu kabarnya, ketika masa senioritas lebih menggebu-gebu, sofa ini jadi bukti nyata bekas bokong-bokong mereka yang paling senior saja. Pada sebuah flight panjang ke China, waktu itu aku dengar seorang senior bercerita tentang senioritas pada masanya. Senioritas masih terasa lebih kental pada 6-10 tahun yang lalu. Dia bercerita sewaktu dirinya masih junior, masuk ke briefing room adalah hal yang sangat menakutkan, mungkin bagai uji nyali. Dulu briefing room kami tidak sebesar briefing room yang sekarang. Karena ruangan yang lebih sempit otomatis setiap gerak serasa terekam dan sangat menonjol. Para junior biasa memasuki briefing room dan tidak mendapatkan hak duduk di sofa keramat, waktu itu tempat duduk dan meja di briefing room juga tak sebanyak sekarang. Tempat para junior ada disana, di tepi mading briefing room, berdiri saja disana menunggu sampai briefing dimulai. Sofa hanya milik mereka yang senior.

Membayangkannya saja, pegal linu di punggungku terasa makin menjadi. Sebab kami semua tahu, setiap menit menjelang briefing adalah masa-masa paling mencekam. Dan menurutku aku sungguh butuh tempat duduk untuk dapat bernafas tenang, menjernihkan pikiran dan menguatkan mental sebelum briefing di mulai. Beberapa pertanyaan kejam dari supervisor selama briefing selalu menghantui bulu kuduk. Mungkin bukan pertanyaan tentang SEP (Safety Emergency Procedure) yang menakutkan, tapi feedback dari pertanyaan itu ketika sudah dijawab salah, atau tidak bisa dijawab. Ketakutan selanjutnya adalah efek yang dibawa selama flight karena tidak bisa menjawab pertanyaan di briefing room. ‘They’re gonna zap u all the way until the aircraft landed’ kata salah seorang senior. Tapi hal itu berlaku hanya apabila kita terbang bersama senior-senior yang (kurang baik hati).  Flight terasa seperti neraka-sungguh. Tapi masih begitu banyak senior yang sungguh baik hati, membuat flight terasa nyaman dan tentram.

Seorang crew malay singaporean¹ duduk disampingku dengan muka merengut tapi masih memaksakan senyum di bibirnya.

“Hi Kenes, what flight are u doing?” dia juniorku, itulah mengapa walaupun aku yakin dia sedang tidak ingin tersenyum tapi masih juga dipaksa tersenyum. Mukaku datar tapi kupaksa juga tersenyum untuknya.

 “Going to Chengdu! How about you?”, mukanya kini jadi lebih suram.

 “Bangalore beib, malas leh,,full load meh²”,  alamak pagi-pagi inilah santapan paling wajib, singlish³. Setelah hampir dua tahun tinggal di Singapura bahasa inggrisku pelan-pelan menuju singlish yang sempurna semrawut tata bahasa dan pronunciation-nya. Rasanya mulai terasa garing mengatakan sesuatu tanpa ada akhiran -lah dibelakang kalimat. Mungkin ini keajaiban peribahasa, dimana bumi berpijak,disitu langit dijunjung.

Catatan kaki:
malay singaporean¹    : Warga singapura yang ber-ras melayu
meh²                            : Salah satu imbuhan dalam bahasa singlish. Mencakup banyak 
                                       makna, keterkejutan, rasa jijik dan lain-lain.
singlish³                       :  Dialek lokal masyarakat di Singapura, bahasa inggris yang  
                                        terkena aksen campuran dari semua bahasa yang ada di
                                       singapura, yaitu melayu, chinese,tamil  ditambah beberapa

                                        bahasa tidak resmi. 

Monday 8 September 2014

Growing older









Sore itu, seperti sore biasa yang asing. Karena aku lupa bagaimana rupa langit sore, dan sinar mataharinya yang lamat-lamat meredup. Terlupakan untuk dipandangi karena hari-hari duniawi yang sesak. 

Sore itu, masih dalam seragam untuk bekerja, aku duduk di window seat, satu dua dan tiga otakku berhenti memikirkan passenger obesitas yang cemberut karena duduk kesesakan tanpa extension seatbelt. Aircraft sedang taxiing -bergerak- pelan menuju runway .Mataku meredup melihat sisi kanan runway yang ditumbuhi banyak pohon seperti cemara, berjejer cantik dengan ujung pohon yang melambai-lambai terbuai angin sore. Langit sedang berwarna kuning bersirat oranye menembus beberapa gumpalan awan yang berserak di atasnya. Kutatapi setiap celah cemara yang bergoyang tertiup angin menyeruakkan sinar sore. Mataku tercekat, berkedip lebih lambat, perlahan rasa itu menyengat otak dan hati. Membawa waktu berputar pada masa ketika aku masih mengenakan kaus kaki putih berenda, bersepatu putih dengan rok terusan pink. Aku duduk di ayunan halaman taman kanak-kanak memandangi burung-burung gereja yang melompat-lompat dari kabel listrik jalanan menuju teras gereja, usai kelelahan berlari sambil tertawa terbahak-bahak karena memandangi bokong mereka saat sedang berjalan membelakangiku.

Masih di taman kanak-kanak, ingatan terkuatku sore itu, saat mataku terpaku pada langit dari sisi pohon cemara terbesar di sekolahku. Mataku berbinar, mengamati pohon cemara yang melambai-lambai di bawahnya seolah menggelitik cantiknya langit tuhan. Ayunanku berayun-ayun cepat dan senyumku menyeruak ringan. Aku bahagia,saat itu. Sebuah kalimat sederhana yang  menjelaskan "bahwa aku melihat sesuatu yang indah dan aku bahagia". Sesederhana itu masa kecil. Beranjak dari 18 tahun yang lalu, growing older bermakna puluhan lipat ambigu, complicated, dan tak dapat diterjemahkan. Menatap langit cantik yang tuhan berikan, membawa berjuta rasa yang sangat detail terkuak dari dasar hati juga otak. Bercampur sedemikian rupa, begitu susah mendefinisikannya dalam satu kata, bahagikah, sedihkah, hampakah? Memori itu berputar, memekakkan, menepi dan berakhir dengan senyum kecil disudut bibirku bersamaan dengan aircraft yang mengerang, terbang meninggalkan airport. Kini mungkin memang tidak pernah sesederhana dulu.



Monday 1 September 2014

Awan Berkata (Chapter 1 part 1)

Nb: Ini adalah halaman pertama dan kedua dari novel (Awan Berkata) yang sedang saya kerjakan . Novel tentang kisah nyata perjalanan karir dan hidup sebagai cabin crew, berusaha dikemas sesimple mungkin dan sejujur mungkin. Masih dalam bentuk mentah, belum ada proses editing sama sekali, tapi karena alasan ingin mengabadikan bentuk originalnya seperti  ‘bare face’ dalam blog ini so i’m going to upload more pages every month’ before publish the fix version. Aamiin   


Chapter 1, part 1.
Morning Dragging
Singapore, Juni 2014
Apartment Kenes
            Semalam mataku bekerja keras membendung air demi pride pada guling dan bantal. Entah mengapa, kemudian aku tertawa terbahak-bahak bersama dengan bendungan air mata yang pecah-yang biasa mereka sebut tangis. Semalam aku serahkan lagi pride pada guling dan bantal berjam-jam, mereka saksi mengapa pagi ini aku masih berguling di atas kasur walaupun alarm sudah menjerit-jerit sejak dua puluh menit yang lalu.
Kulit tubuh yang bersentuhan dengan selimut dan kasur pada masa-masa kesadaran baru kembali seperempat dan kelopak mata baru berkerjap-kerjap adalah salah satu sensasi duniawi ternyaman yang susah ditinggalkan. Kutarik-tarik lagi selimutku menutupi kepala yang terasa dingin oleh air conditioner. Jariku menyusuri kasur mencari ponsel yang kini alarm-nya berbunyi lagi. Kutemukan benda itu tersembul dibawah bantal. Aku menyeringai menatap layar putih yang membuat perih mata. 03:15 am, tertera disana, kusorongkan lagi ponsel ini jauh-jauh dibawah bantal, kembali memejamkan mata dengan pikiran yang mulai bekerja. 03:15 AM adalah 2 jam 45 menit sebelum departure time flightku pagi ini. Aku berhitung lagi, departure timeku pukul 06:00 AM jadi waktu briefing adalah satu setengah jam sebelumnya, yang artinya pukul 04:30 AM. Sejak bekerja di sini, aku sudah biasa berhitung sambil setengah tertidur. Skill baru yang sungguh layak diperhitungkan dan dicantumkan dalam cv-seandainya saja.  Kulanjutkan lagi, kini tersisa 35 menit sebelum akhirnya aku harus sudah duduk manis di dalam taxi. Butuh sedikit kesadaran tambahan bahwa aku belum mandi, make up, dan ganti baju sekaligus pergi ke airport dalam waktu 35 menit. Hitungan ketiga sebelum aku terjerat mimpi lagi tiba-tiba kakiku menendang kencang-kencang bed cover yang kini tiba-tiba jadi menyebalkan. Setelah sadar beberapa ratus persen punggungku sontak mengayun tegak 90 derajat, mengayun-ayun lunglai selama 2 detik diatas ranjang  sebelum akhirnya berdiri dengan mata masih setengah merem. Telapak tanganku menyangga kepala yang masih berkunang-kunang, dengan kelabakan dan gerakan kesetanan aku menuju kamar mandi.
...
Waktu dimana make up sudah di wajah, seragam sudah melekat di badan, dan staff id sudah tersemat di dada, action adalah hal utama dan pertama yang harus dilakukan. Senyum, segala antusias dan keramahan harus ditempel lengket-lengket di mimik wajah, begitu juga body language dan intonasi suara. Bahkan ketika kita baru putus dari kekasih yang sudah bertahun-tahun bersama, atau sedang sakit, ataupun didera masalah keluarga yang membuat kepala terasa berdenyut-denyut. Lupakan semunya, buang semuanya untuk sementara waktu, kunci semuanya dalam locker beserta dengan hati. Hati adalah yang paling wajib ditinggalkan sebelum flight dimulai. Seorang senior pernah berkata, hati ditinggalkan supaya tidak lecet, lebam ataupun trauma oleh kondisi, situasi dan manusia di tempat kerja. Semua action tadi dimulai bahkan sebelum kaki menginjak lantai aircraft. Tepatnya semua dimulai ketika menginjak lantai airport terutama briefing room. Karena pengalaman mengajarkan banyak hal.
Dulu sekali, waktu masih dibilang ‘very very junior’, seorang senior memelototiku karena memegang handphone dan berjalan bongkok menuju briefing room. Seorang maha senior juga membentakku di briefing room karena dia merasa aku ‘lack smile’ sejak itu aku tersenyum nonstop dan merasa muscle pipiku jadi kaku dan gigiku jadi kedinginan karena AC briefing room yang sedingin kutub utara. Baru-baru ini juga, aku sakit ringan dan memaksa diri untuk terbang, seorang maha senior lain menuduhku memberinya ‘black face’ karena mukaku yang sedikit saja pucat dan wajah yang sedikit saja layu, padahal aku sudah berusaha pasang senyum. Mungkin lain kali aku perlu blush on yang lebih pink. Setelah menuduhku memberinya black face, dia memintaku keluar dari flightnya kalau-kalau lain kali aku datang dengan wajah yang sama. Aku merasa perlu berhitung lagi, jika setiap kali sakit ringan aku harus izin sakit maka setahun aku bisa punya puluhan Medical Letter. Dimana itu artinya adalah sebuah ajang coffee and tea bersama HRD. Itu rasanya seperti masuk pengadilan kelas berat.  Ketika kutimbang-timbang lagi segi positifnya, setidaknya aku belajar untuk tampil (over) professional disini.

Sunday 20 July 2014

Kata

Kata




Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan harapan yang berselaput keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil mengkhianati dan menyiksa diri sendiri. Melimpahkan segala usaha untuk sebentuk cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.

Kalau ini ditumpahkan jadi sebuah film, aku mau setting musiknya jazz ballads yang sendu tapi sexy, Alfonzo Blackwell- The Seduction, then aktrisnya si Keira Knightly yang i don't know how to say, amazing. Dan yah, dia satu-satunya artis disini. Setting tempatnya ada di Singapore saja, dimana beberapa ras bisa campur dan desek-desekan di pulau sempit ini. Okay, i choose sebuah cafe and bar di Clarke Quay, mari menyetujui bahwa music diluar barnya adalah music yang tadi. Semua tempat duduk dan meja di luar bar adalah kayu tidak berpernis rata, penerangannya sendu, kuning temaram. Lilin dalam gelas ditengah mejapun jadi gemulai tertiup angin berbau jazz. Beberapa tumbuhan sulur merambati sisi-sisi pagar kecil yang membatasi meja, melilit-lilit tiang kayu berseling dengan bunga krisan putih.

Bila kamu duduk di salah satu kursi yang menghadap jalanan  tepat sebelum air mancur dan rainbow lightingnya, terlihat juntaian kain putih yang melilit tiang terbesar kafe melambai-lambai, seberkas cahaya kuning lampu gantung kafe menerawang dari baliknya. Membangun mood sendu yang menggerogoti kemudian membawa romansa dan ilusi tentang perjalanan cinta tingkat dewa. Kini Keira duduk di kursi itu, merasakan ilusi tadi. Segelas red wine masih ditimang timangnya di tangan, mencari cari moment disaat pertahanannya akan pikiran-pikiran sendu itu tak kuat lagi dijejalkan dalam otak. Memori membawanya pada sebuah definisi kegagalan. Memori tentang cinta di waktu lampau menggelayuti satu sisi otaknya yang dulu sempat tak tenang menerimanya. Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan harapan yang berselaput keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil mengkhianati dan menyiksa diri sendiri. Dirinya yang melimpahkan segala usaha untuk sebentuk cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.

Keira tersenyum dengan kaku, menghujani gelas wine dengan tatapan kosong. Seketika tatapannya beralih pada lilin yang berkerjap-kerjap. Ada kesadaran dalam sebuah analogi lilin yang berkerjap-kerjap dipontang-pantingkan angin. Mungkin kita selalu bisa mendapatkan tempat yang lebih layak untuk berteduh, seperti lilin yang benderang bila diletakkkan di tempat  dimana hanya ada desir angin yang halus, gelap malam yang sepi dan kelam. Tidak akan terlihat indahnya bila berakhir di siang bolong demi untuk mengusir lalat dari meja makan. Mungkin begitulah cinta, memaksa untuk jadi satu pada sebuah kondisi yang tidak memungkinkan, pribadi yang tidak tepat, dan lingkungan yang salah, hanya menciptakan berbagai shoot adegan pertengkaran yang berulang-ulang. Segala hal memang berbeda, cinta mungkin memang dari beberapa komposisi yang berbeda, tapi hanya perbedaan yang menyatukan yang bisa mereka sebut cinta. Bukan sekedar perbedaan yang dipaksakan tanpa indra mata untuk melihat ketimpangan dan perasa untuk memahami perasaan. Bahkan cinta memang tidak mempunyai takaran, resep atau rumus, karena cinta bukan dibeberkan dengan lidah, tapi dengan pikiran, tangan, kaki, gerak, yang berwujud effort.

Keira menghembuskan nafas pelan, membelalakkan mata dan berkerjap-kerjap mengusir air di sudut mata yang hampir menetes. Keheningan datang untuk beberapa menit, ada semilir sejuk melintasi rongga dadanya. Peluh yang selama ini ada di ubun-ubun terasa luruh menguap. Dulu terasa sakit, ketika semua orang melangkah dan berbaris untuk menjadi hakim akan kisah cintanya yang sudah cukup terlunta-lunta. Dia yang dulu meringkuk dengan mata sembab menatapi mereka yang pongah dan menjelma menjadi nenek sihir berwajah malaikat. Membualkan kata-kata buta yang hanya terdengar perih dan sinis di telinga dan hati. Itu dulu, dulu yang terasa sakit, dan ketika sakit melaju menjadi sebuah kenormalan yang menjentik, semua terasa lebih mudah.

 Keira tersenyum, semua kata-kata pahit, bualan janji, dan kekanak-kanakan hanyalah alas tangga yang terinjak dan telah terlewati. Sudah datang masanya. Sebuah masa ketika hujan berhenti, dan menyisakan pelangi yang melengkung di sisi langit, bersama aroma tanah yang menguap segar. Semua menyiratkan sebuah masa baru tanpa cela di masa lalu. Sudah habis masanya, masa dimana berduka dan meringkuk jadi saksi bisu kedewasaan yang tumbuh pada setiap detik yang dulunya terasa sakit. Keira menyorongkan gelas wine dan kursinya, seketika berdiri dan meraih tasnya. Kedermawanannya menyisihkan waktu untuk  merenung rasanya telah habis. Waktu yang kini tak akan termakan waktu yang lalu. Dan semua jejak masa lalu tetaplah disana, tanpa harus terbawa di masa kini dan masa depan.  


Friday 16 May 2014

Mencinta


Aku mencintai kamu, bahkan sampai pada detik ini. Sesakit apapun yang ada di mata, telinga, dan hati, aku masih mencintai kamu. Mencinta yang digerogoti rasa sakit, karena tidak harusnya datang di setiap helaan nafas, kedipan mata, dan angin yang lewat. Mencinta kemudian serasa tidak harus dipertahankan ketika dia tak lagi memilih hati ini untuk dibela. Menangislah bermalam-malam memandangnya tertawa bahagia. Tak mengapa bila dia tidak mencinta sebesar cinta ini. Tiba saatnya menyadari, selama ini aku mencinta terlalu melebihinya. Banyak dini hari terlewatkan dengan bahu gemetar di dalam selimut dengan lebam di mata, dan dia disana tertawa bahagia bersama teman-teman tercinta. Aku tersenyum, meyakini bahwa mungkin bahagia ada padamu saat ini. Kamu telah memilih. Memberiku pengakuan yang getir.
Aku mencintai tapi aku tidak punya kapasitas lebih untuk melanjutkan. Dan ini yang terakhir. Terakhir kali berkata...... untuk tidak mencintai kamu lagi.

Tuesday 22 April 2014

Feeling Insecure?



      

      Jadi 'feeling insecure' ini adalah salah satu istilah yang menurut saya paling cocok dan mewakili buat describe saat-saat dimana kamu merasa nggak happy, nggak aman, lonely, on the top of your sensitive emotion,  intinya totally absurd, dan ambigu untuk dijelasin. Saat-saat yang begini bisa dibilang senggol sedikit bacok. Semua wanita i'm sure pasti pernah atau mungkin sering ngerasain sindrom "feeling insecure" ini. We do not talk about what kind of problems that drives us to this silly and iritating feeling, karena semua orang tentu punya masalahnya sendiri. So i do really happy untuk bisa sharing apa yang mungkin bisa dilakukan untuk kick out this feeling. Dan ini adalah versi saya berdasarkan beberapa bacaan artikel psikologi yang sudah saya baca dan manggut-manggut karna kebanyakan adalah teori. Tapi trust me mengalami sendiri kemudian membaca teori hasilnya adalah solusi yang original. 

- Pertama, ambil kertas paling bagus dan tulis di atas kertas itu besar-besar quote ini  "The task we must set for ourselves is not to feel secure, but to be able to tolerate insecurity" (German psychoanalyst Eric Froom). Hey girls ternyata insecurity itu normal, jadi ketika perasaan ini muncul merasalah ini bagian dari kenormalan. Nggak gampang memang untuk mencoba memasukkan ini dalam sebuah konsep kenormalan, tapi memasukkan ini dalam konsep masalah juga to much. Karena feeling insecure bisa datang kapan saja, regular guest bisa dibilang. Bayangkan saja kita punya masalah yang datangnya secara regular, no way!

- Kedua, do something that make u happy. Mengontrol pikiran kita bahwa insecurity itu sangat bisa ditolerir rasanya nggak cukup membuat perasaan itu hilang. Melakukan hal yang kita suka bisa jadi pengalih perhatian yang menyenangkan dan sekaligus manjur. Kalau hobi baca buku, pergi ke toko buku beli beberapa buku yang kamu suka, seharian spent waktu di perpustakaan atau ke coffee shop sambil baca mungkin. Atau hobi nonton film, ajakin siapa aja yg bisa ikut nonton atau beli dvd-dvd favorit. Happy!

- Ketiga, buy  something cute for u (hadiahi diri sendiri). Nggak harus mahal, beli sesuatu yang  cute dan membahagiakan. Kalau kamu wanita tulen, pasti tau prinsip ini. Let say, saya sudah cukup seneng dengan beli kutek baru, dengan warna baru yang sebelumnya gak pernah dicoba. Just a small things but cheer u up!
- 
Keempat, trust me pastikan kamu makan teratur disaat sindrom 'insecure' muncul. Tingkat stress orang dengan perut kenyang dan asupan gizi tercukupi akan lesser dibanding dengan orang yang lagi laper. Sederhananya kita selalu bilang 'aku nggak bisa mikir karna aku laper' konsep ini sama juga dengan tingkat stress dan pikiran yang nggak jernih karena kita nggak makan dikala stress. Konsumsi buah, minum banyak air putih bisa membuat kita slightly fresh.

- 
Kelima, berdoa. Siapa yang kita tuju disaat teman-teman pada sibuk kerja, orang tua jauh, saudara juga, dan pacar... ngga punya mungkin??. Anyway, Tuhan selalu ada dimanapun dan kapanpun. Segala keluh kesah yang kita punya mungkin tidak akan dimengerti sepenuhnya oleh orang lain. Tapi, untuk tuhan, tanpa perlu seribu kata keluar dari mulut kita Dia selalu mengerti dan ada. Alhamdulillah. 

So.. semoga seiring dengan berjalannya waktu, dan bertambah dewasanya kita semoga perasaan insecure ini bukan lagi jadi hal yang dominan dalam hidup sehari-hari. Gonna change with happy feeling forever! amin.