Briefing
Room MerlionAir, Singapore Changi Airport
Aku sampai di airport tepat 15 menit
sebelum briefing dimulai.
“Morning!,
hy morning, I’am kenes , nice to meet you”, kalimat ini seakan dan memang lebih
penting dari sarapan pagi. Bahkan selama ini aku bisa survive tanpa sarapan
setiap kali dapat jatah morning flight, tapi
rasanya tidak akan bisa survive tanpa
kalimat barusan. “Put a smile on your
face for every handshake”, sampai sekarangpun masih pakai senyum walaupun
dibilang ‘sudah agak senior’. Beberapa senior ada yang sudah ‘tanpa
senyum’ kalau mau jabat tangan. Padahal
beberapa senior yang sudah karatan saking lamanya disini ada yang masih sangat
baik, bahkan mau lebih dulu menyalami junior. Culture-nya adalah, kalau anda senior dan masuk briefing room, maka begitu anda buka pintu keramat briefing room, kejadian berikutnya
adalah anda dikerubungi para junior di dalam briefing room untuk menyalami
anda. Tapi kalau anda adalah sang junior, begitu anda buka pintu keramat maka
yang anda lihat adalah semua crew masih duduk tenang ditempatnya masing-masing
tanpa perduli dengan kehadiran anda, tapi di dalam hati menunggu anda untuk
datang dan menyalami mereka. Jadi usai menutup pintu keramat, anda harus datang
menyalami satu persatu crew baru kemudian bebas melanjutkan pekerjaan anda.
Usai
menyalami beberapa crew dan juga disalami beberapa crew aku bergegas menuju
sisi briefing room tempat komputer-komputer untuk check in dan checking load
passenger. Hari ini seperti hari biasanya.
Flying hour atau jam terbangku
beberapa bulan terakhir selalu diatas 100 jam, dan itu membuat lahirnya kantung
mata dan menyusutnya berat badan, juga otot-otot yang kehausan tukang pijit.
Aku membenci rosterku yang serasa mirip komidi putar, putar kanan dan kiri
sesuka hati. Kadang aku bangun dipagi buta, memanggil taxi dipinggir jalan, saat
semua orang masih ada di dalam selimut. Kadang aku pulang pagi-pagi berjalan
bersisipan dengan orang kantoran yang sedang berangkat kerja. Kadang juga aku
pulang pagi buta, berjingkat-jingkat memasuki ruang tamu sambil menarik koper,
takut sampai-sampai orang dirumah terbangun. Aku tidur dan terbangun hampir
pada jam yang sangat berbeda setiap harinya. Ini membuat body clock-ku tidak bisa di set paten.
Aku
duduk di salah satu meja dengan sofa panjang di depan vending machine. Dulu kabarnya, ketika masa senioritas lebih
menggebu-gebu, sofa ini jadi bukti nyata bekas bokong-bokong mereka yang paling
senior saja. Pada sebuah flight panjang ke China, waktu itu aku dengar seorang
senior bercerita tentang senioritas pada masanya. Senioritas masih terasa lebih
kental pada 6-10 tahun yang lalu. Dia bercerita sewaktu dirinya masih junior,
masuk ke briefing room adalah hal
yang sangat menakutkan, mungkin bagai uji nyali. Dulu briefing room kami tidak
sebesar briefing room yang sekarang. Karena ruangan yang lebih sempit otomatis
setiap gerak serasa terekam dan sangat menonjol. Para junior biasa memasuki
briefing room dan tidak mendapatkan hak duduk di sofa keramat, waktu itu tempat
duduk dan meja di briefing room juga tak sebanyak sekarang. Tempat para junior
ada disana, di tepi mading briefing room, berdiri saja disana menunggu sampai
briefing dimulai. Sofa hanya milik mereka yang senior.
Membayangkannya
saja, pegal linu di punggungku terasa makin menjadi. Sebab kami semua tahu, setiap
menit menjelang briefing adalah masa-masa paling mencekam. Dan menurutku aku
sungguh butuh tempat duduk untuk dapat bernafas tenang, menjernihkan pikiran
dan menguatkan mental sebelum briefing di mulai. Beberapa pertanyaan kejam dari
supervisor selama briefing selalu menghantui bulu kuduk. Mungkin bukan
pertanyaan tentang SEP (Safety Emergency Procedure) yang menakutkan, tapi
feedback dari pertanyaan itu ketika sudah dijawab salah, atau tidak bisa
dijawab. Ketakutan selanjutnya adalah efek yang dibawa selama flight karena
tidak bisa menjawab pertanyaan di briefing
room. ‘They’re gonna zap u all the way until the aircraft landed’ kata
salah seorang senior. Tapi hal itu berlaku hanya apabila kita terbang bersama
senior-senior yang (kurang baik hati). Flight terasa seperti neraka-sungguh. Tapi masih
begitu banyak senior yang sungguh baik hati, membuat flight terasa nyaman dan
tentram.
Seorang
crew malay singaporean¹ duduk
disampingku dengan muka merengut tapi masih memaksakan senyum di bibirnya.
“Hi
Kenes, what flight are u doing?” dia juniorku, itulah mengapa walaupun aku
yakin dia sedang tidak ingin tersenyum tapi masih juga dipaksa tersenyum. Mukaku
datar tapi kupaksa juga tersenyum untuknya.
“Going to Chengdu! How about you?”, mukanya
kini jadi lebih suram.
“Bangalore beib, malas leh,,full load meh²”, alamak pagi-pagi inilah santapan paling wajib,
singlish³. Setelah hampir dua tahun tinggal
di Singapura bahasa inggrisku pelan-pelan menuju singlish yang sempurna semrawut
tata bahasa dan pronunciation-nya. Rasanya
mulai terasa garing mengatakan sesuatu tanpa ada akhiran -lah dibelakang
kalimat. Mungkin ini keajaiban peribahasa, dimana bumi berpijak,disitu langit
dijunjung.
Catatan
kaki:
malay singaporean¹ : Warga singapura yang
ber-ras melayu
meh² : Salah
satu imbuhan dalam bahasa singlish. Mencakup banyak
makna,
keterkejutan, rasa jijik dan lain-lain.
singlish³ : Dialek lokal masyarakat di Singapura, bahasa
inggris yang
terkena aksen campuran dari semua bahasa yang
ada di
singapura, yaitu melayu, chinese,tamil
ditambah beberapa
bahasa
tidak resmi.