Sore itu, seperti sore biasa yang asing. Karena aku lupa bagaimana rupa
langit sore, dan sinar mataharinya yang lamat-lamat meredup. Terlupakan untuk
dipandangi karena hari-hari duniawi yang sesak.
Sore itu, masih dalam seragam untuk bekerja, aku duduk di window seat, satu dua dan tiga otakku berhenti
memikirkan passenger obesitas yang cemberut karena duduk kesesakan tanpa extension seatbelt. Aircraft sedang taxiing -bergerak- pelan menuju runway .Mataku meredup melihat sisi kanan runway yang ditumbuhi banyak pohon seperti cemara, berjejer cantik dengan ujung
pohon yang melambai-lambai terbuai angin sore. Langit sedang berwarna kuning
bersirat oranye menembus beberapa gumpalan awan yang berserak di atasnya.
Kutatapi setiap celah cemara yang bergoyang tertiup angin menyeruakkan sinar
sore. Mataku tercekat, berkedip lebih lambat, perlahan rasa itu menyengat otak
dan hati. Membawa waktu berputar pada masa ketika aku masih mengenakan kaus
kaki putih berenda, bersepatu putih dengan rok terusan pink. Aku duduk di ayunan
halaman taman kanak-kanak memandangi burung-burung gereja yang melompat-lompat
dari kabel listrik jalanan menuju teras gereja, usai kelelahan berlari sambil
tertawa terbahak-bahak karena memandangi bokong mereka saat sedang berjalan
membelakangiku.
Masih di taman kanak-kanak, ingatan terkuatku sore itu, saat mataku terpaku
pada langit dari sisi pohon cemara terbesar di sekolahku. Mataku berbinar,
mengamati pohon cemara yang melambai-lambai di bawahnya seolah menggelitik cantiknya
langit tuhan. Ayunanku berayun-ayun cepat dan senyumku menyeruak ringan. Aku
bahagia,saat itu. Sebuah kalimat sederhana yang menjelaskan "bahwa aku melihat sesuatu
yang indah dan aku bahagia". Sesederhana itu masa kecil. Beranjak dari 18
tahun yang lalu, growing older bermakna puluhan lipat
ambigu, complicated, dan tak dapat
diterjemahkan. Menatap langit cantik yang tuhan berikan, membawa berjuta rasa
yang sangat detail terkuak dari dasar hati juga otak. Bercampur sedemikian
rupa, begitu susah mendefinisikannya dalam satu kata, bahagikah, sedihkah,
hampakah? Memori itu berputar, memekakkan, menepi dan berakhir dengan senyum
kecil disudut bibirku bersamaan dengan aircraft
yang mengerang, terbang meninggalkan airport. Kini mungkin
memang tidak pernah sesederhana dulu.
No comments:
Post a Comment