Visit My old blog

Saturday 13 September 2014

Awan Berkata (Chapter 1 Morning Dragging, part 2)

Briefing Room MerlionAir, Singapore Changi Airport

            Aku sampai di airport tepat 15 menit sebelum briefing dimulai.

“Morning!, hy morning, I’am kenes , nice to meet you”, kalimat ini seakan dan memang lebih penting dari sarapan pagi. Bahkan selama ini aku bisa survive tanpa sarapan setiap kali dapat jatah morning flight, tapi rasanya tidak akan bisa survive tanpa kalimat barusan. “Put a smile on your face for every handshake”, sampai sekarangpun masih pakai senyum walaupun dibilang ‘sudah agak senior’. Beberapa senior ada yang sudah ‘tanpa senyum’  kalau mau jabat tangan. Padahal beberapa senior yang sudah karatan saking lamanya disini ada yang masih sangat baik, bahkan mau lebih dulu menyalami junior. Culture-nya adalah, kalau anda senior dan masuk briefing room, maka begitu anda buka pintu keramat briefing room, kejadian berikutnya adalah anda dikerubungi para junior di dalam briefing room untuk menyalami anda. Tapi kalau anda adalah sang junior, begitu anda buka pintu keramat maka yang anda lihat adalah semua crew masih duduk tenang ditempatnya masing-masing tanpa perduli dengan kehadiran anda, tapi di dalam hati menunggu anda untuk datang dan menyalami mereka. Jadi usai menutup pintu keramat, anda harus datang menyalami satu persatu crew baru kemudian bebas melanjutkan pekerjaan anda.

Usai menyalami beberapa crew dan juga disalami beberapa crew aku bergegas menuju sisi briefing room tempat komputer-komputer untuk check in dan checking load passenger.  Hari ini seperti hari biasanya. Flying hour atau jam terbangku beberapa bulan terakhir selalu diatas 100 jam, dan itu membuat lahirnya kantung mata dan menyusutnya berat badan, juga otot-otot yang kehausan tukang pijit. Aku membenci rosterku yang serasa mirip komidi putar, putar kanan dan kiri sesuka hati. Kadang aku bangun dipagi buta, memanggil taxi dipinggir jalan, saat semua orang masih ada di dalam selimut. Kadang aku pulang pagi-pagi berjalan bersisipan dengan orang kantoran yang sedang berangkat kerja. Kadang juga aku pulang pagi buta, berjingkat-jingkat memasuki ruang tamu sambil menarik koper, takut sampai-sampai orang dirumah terbangun. Aku tidur dan terbangun hampir pada jam yang sangat berbeda setiap harinya. Ini membuat body clock-ku tidak bisa di set paten.

Aku duduk di salah satu meja dengan sofa panjang di depan vending machine. Dulu kabarnya, ketika masa senioritas lebih menggebu-gebu, sofa ini jadi bukti nyata bekas bokong-bokong mereka yang paling senior saja. Pada sebuah flight panjang ke China, waktu itu aku dengar seorang senior bercerita tentang senioritas pada masanya. Senioritas masih terasa lebih kental pada 6-10 tahun yang lalu. Dia bercerita sewaktu dirinya masih junior, masuk ke briefing room adalah hal yang sangat menakutkan, mungkin bagai uji nyali. Dulu briefing room kami tidak sebesar briefing room yang sekarang. Karena ruangan yang lebih sempit otomatis setiap gerak serasa terekam dan sangat menonjol. Para junior biasa memasuki briefing room dan tidak mendapatkan hak duduk di sofa keramat, waktu itu tempat duduk dan meja di briefing room juga tak sebanyak sekarang. Tempat para junior ada disana, di tepi mading briefing room, berdiri saja disana menunggu sampai briefing dimulai. Sofa hanya milik mereka yang senior.

Membayangkannya saja, pegal linu di punggungku terasa makin menjadi. Sebab kami semua tahu, setiap menit menjelang briefing adalah masa-masa paling mencekam. Dan menurutku aku sungguh butuh tempat duduk untuk dapat bernafas tenang, menjernihkan pikiran dan menguatkan mental sebelum briefing di mulai. Beberapa pertanyaan kejam dari supervisor selama briefing selalu menghantui bulu kuduk. Mungkin bukan pertanyaan tentang SEP (Safety Emergency Procedure) yang menakutkan, tapi feedback dari pertanyaan itu ketika sudah dijawab salah, atau tidak bisa dijawab. Ketakutan selanjutnya adalah efek yang dibawa selama flight karena tidak bisa menjawab pertanyaan di briefing room. ‘They’re gonna zap u all the way until the aircraft landed’ kata salah seorang senior. Tapi hal itu berlaku hanya apabila kita terbang bersama senior-senior yang (kurang baik hati).  Flight terasa seperti neraka-sungguh. Tapi masih begitu banyak senior yang sungguh baik hati, membuat flight terasa nyaman dan tentram.

Seorang crew malay singaporean¹ duduk disampingku dengan muka merengut tapi masih memaksakan senyum di bibirnya.

“Hi Kenes, what flight are u doing?” dia juniorku, itulah mengapa walaupun aku yakin dia sedang tidak ingin tersenyum tapi masih juga dipaksa tersenyum. Mukaku datar tapi kupaksa juga tersenyum untuknya.

 “Going to Chengdu! How about you?”, mukanya kini jadi lebih suram.

 “Bangalore beib, malas leh,,full load meh²”,  alamak pagi-pagi inilah santapan paling wajib, singlish³. Setelah hampir dua tahun tinggal di Singapura bahasa inggrisku pelan-pelan menuju singlish yang sempurna semrawut tata bahasa dan pronunciation-nya. Rasanya mulai terasa garing mengatakan sesuatu tanpa ada akhiran -lah dibelakang kalimat. Mungkin ini keajaiban peribahasa, dimana bumi berpijak,disitu langit dijunjung.

Catatan kaki:
malay singaporean¹    : Warga singapura yang ber-ras melayu
meh²                            : Salah satu imbuhan dalam bahasa singlish. Mencakup banyak 
                                       makna, keterkejutan, rasa jijik dan lain-lain.
singlish³                       :  Dialek lokal masyarakat di Singapura, bahasa inggris yang  
                                        terkena aksen campuran dari semua bahasa yang ada di
                                       singapura, yaitu melayu, chinese,tamil  ditambah beberapa

                                        bahasa tidak resmi. 

No comments:

Post a Comment