Nb: Ini adalah halaman
pertama dan kedua dari novel (Awan Berkata) yang sedang saya kerjakan . Novel tentang
kisah nyata perjalanan karir dan hidup sebagai cabin crew, berusaha dikemas
sesimple mungkin dan sejujur mungkin. Masih dalam bentuk mentah, belum ada proses
editing sama sekali, tapi karena alasan ingin mengabadikan bentuk originalnya
seperti ‘bare face’ dalam blog ini so i’m
going to upload more pages every month’ before publish the fix version. Aamiin
Chapter 1, part 1.
Morning
Dragging
Singapore,
Juni 2014
Apartment
Kenes
Semalam mataku bekerja keras
membendung air demi pride pada guling
dan bantal. Entah mengapa, kemudian aku tertawa terbahak-bahak bersama dengan
bendungan air mata yang pecah-yang biasa mereka sebut tangis. Semalam aku
serahkan lagi pride pada guling dan
bantal berjam-jam, mereka saksi mengapa pagi ini aku masih berguling di atas
kasur walaupun alarm sudah menjerit-jerit sejak dua puluh menit yang lalu.
Kulit
tubuh yang bersentuhan dengan selimut dan kasur pada masa-masa kesadaran baru kembali
seperempat dan kelopak mata baru berkerjap-kerjap adalah salah satu sensasi duniawi
ternyaman yang susah ditinggalkan. Kutarik-tarik lagi selimutku menutupi kepala
yang terasa dingin oleh air conditioner.
Jariku menyusuri kasur mencari ponsel yang kini alarm-nya berbunyi lagi. Kutemukan benda itu tersembul dibawah
bantal. Aku menyeringai menatap layar putih yang membuat perih mata. 03:15 am, tertera
disana, kusorongkan lagi ponsel ini jauh-jauh dibawah bantal, kembali
memejamkan mata dengan pikiran yang mulai bekerja. 03:15 AM adalah 2 jam 45
menit sebelum departure time flightku pagi ini. Aku berhitung lagi, departure
timeku pukul 06:00 AM jadi waktu briefing adalah satu setengah jam sebelumnya,
yang artinya pukul 04:30 AM. Sejak bekerja di sini, aku sudah biasa berhitung
sambil setengah tertidur. Skill baru yang sungguh layak diperhitungkan dan
dicantumkan dalam cv-seandainya saja. Kulanjutkan
lagi, kini tersisa 35 menit sebelum akhirnya aku harus sudah duduk manis di
dalam taxi. Butuh sedikit kesadaran tambahan bahwa aku belum mandi, make up,
dan ganti baju sekaligus pergi ke airport dalam waktu 35 menit. Hitungan ketiga
sebelum aku terjerat mimpi lagi tiba-tiba kakiku menendang kencang-kencang bed cover yang kini tiba-tiba jadi
menyebalkan. Setelah sadar beberapa ratus persen punggungku sontak mengayun
tegak 90 derajat, mengayun-ayun lunglai selama 2 detik diatas ranjang sebelum akhirnya berdiri dengan mata masih
setengah merem. Telapak tanganku menyangga kepala yang masih berkunang-kunang,
dengan kelabakan dan gerakan kesetanan aku menuju kamar mandi.
...
Waktu
dimana make up sudah di wajah, seragam sudah melekat di badan, dan staff id
sudah tersemat di dada, action adalah
hal utama dan pertama yang harus dilakukan. Senyum, segala antusias dan
keramahan harus ditempel lengket-lengket di mimik wajah, begitu juga body language dan intonasi suara. Bahkan
ketika kita baru putus dari kekasih yang sudah bertahun-tahun bersama, atau sedang
sakit, ataupun didera masalah keluarga yang membuat kepala terasa
berdenyut-denyut. Lupakan semunya, buang semuanya untuk sementara waktu, kunci semuanya
dalam locker beserta dengan hati. Hati adalah yang paling wajib ditinggalkan
sebelum flight dimulai. Seorang senior pernah berkata, hati ditinggalkan supaya
tidak lecet, lebam ataupun trauma oleh kondisi, situasi dan manusia di tempat
kerja. Semua action tadi dimulai
bahkan sebelum kaki menginjak lantai aircraft. Tepatnya semua dimulai ketika
menginjak lantai airport terutama briefing
room. Karena pengalaman mengajarkan banyak hal.
Dulu
sekali, waktu masih dibilang ‘very very
junior’, seorang senior memelototiku karena memegang handphone dan berjalan bongkok menuju briefing room. Seorang maha
senior juga membentakku di briefing room karena dia merasa aku ‘lack smile’ sejak itu aku tersenyum
nonstop dan merasa muscle pipiku jadi
kaku dan gigiku jadi kedinginan karena AC briefing room yang sedingin kutub
utara. Baru-baru ini juga, aku sakit ringan dan memaksa diri untuk terbang, seorang
maha senior lain menuduhku memberinya ‘black
face’ karena mukaku yang sedikit saja pucat dan wajah yang sedikit saja
layu, padahal aku sudah berusaha pasang senyum. Mungkin lain kali aku perlu blush on yang lebih pink. Setelah
menuduhku memberinya black face, dia memintaku keluar dari flightnya
kalau-kalau lain kali aku datang dengan wajah yang sama. Aku merasa perlu
berhitung lagi, jika setiap kali sakit ringan aku harus izin sakit maka setahun
aku bisa punya puluhan Medical Letter. Dimana
itu artinya adalah sebuah ajang coffee
and tea bersama HRD. Itu rasanya seperti masuk pengadilan kelas berat. Ketika kutimbang-timbang lagi segi
positifnya, setidaknya aku belajar untuk tampil (over) professional disini.
No comments:
Post a Comment