Visit My old blog

Monday 1 September 2014

Awan Berkata (Chapter 1 part 1)

Nb: Ini adalah halaman pertama dan kedua dari novel (Awan Berkata) yang sedang saya kerjakan . Novel tentang kisah nyata perjalanan karir dan hidup sebagai cabin crew, berusaha dikemas sesimple mungkin dan sejujur mungkin. Masih dalam bentuk mentah, belum ada proses editing sama sekali, tapi karena alasan ingin mengabadikan bentuk originalnya seperti  ‘bare face’ dalam blog ini so i’m going to upload more pages every month’ before publish the fix version. Aamiin   


Chapter 1, part 1.
Morning Dragging
Singapore, Juni 2014
Apartment Kenes
            Semalam mataku bekerja keras membendung air demi pride pada guling dan bantal. Entah mengapa, kemudian aku tertawa terbahak-bahak bersama dengan bendungan air mata yang pecah-yang biasa mereka sebut tangis. Semalam aku serahkan lagi pride pada guling dan bantal berjam-jam, mereka saksi mengapa pagi ini aku masih berguling di atas kasur walaupun alarm sudah menjerit-jerit sejak dua puluh menit yang lalu.
Kulit tubuh yang bersentuhan dengan selimut dan kasur pada masa-masa kesadaran baru kembali seperempat dan kelopak mata baru berkerjap-kerjap adalah salah satu sensasi duniawi ternyaman yang susah ditinggalkan. Kutarik-tarik lagi selimutku menutupi kepala yang terasa dingin oleh air conditioner. Jariku menyusuri kasur mencari ponsel yang kini alarm-nya berbunyi lagi. Kutemukan benda itu tersembul dibawah bantal. Aku menyeringai menatap layar putih yang membuat perih mata. 03:15 am, tertera disana, kusorongkan lagi ponsel ini jauh-jauh dibawah bantal, kembali memejamkan mata dengan pikiran yang mulai bekerja. 03:15 AM adalah 2 jam 45 menit sebelum departure time flightku pagi ini. Aku berhitung lagi, departure timeku pukul 06:00 AM jadi waktu briefing adalah satu setengah jam sebelumnya, yang artinya pukul 04:30 AM. Sejak bekerja di sini, aku sudah biasa berhitung sambil setengah tertidur. Skill baru yang sungguh layak diperhitungkan dan dicantumkan dalam cv-seandainya saja.  Kulanjutkan lagi, kini tersisa 35 menit sebelum akhirnya aku harus sudah duduk manis di dalam taxi. Butuh sedikit kesadaran tambahan bahwa aku belum mandi, make up, dan ganti baju sekaligus pergi ke airport dalam waktu 35 menit. Hitungan ketiga sebelum aku terjerat mimpi lagi tiba-tiba kakiku menendang kencang-kencang bed cover yang kini tiba-tiba jadi menyebalkan. Setelah sadar beberapa ratus persen punggungku sontak mengayun tegak 90 derajat, mengayun-ayun lunglai selama 2 detik diatas ranjang  sebelum akhirnya berdiri dengan mata masih setengah merem. Telapak tanganku menyangga kepala yang masih berkunang-kunang, dengan kelabakan dan gerakan kesetanan aku menuju kamar mandi.
...
Waktu dimana make up sudah di wajah, seragam sudah melekat di badan, dan staff id sudah tersemat di dada, action adalah hal utama dan pertama yang harus dilakukan. Senyum, segala antusias dan keramahan harus ditempel lengket-lengket di mimik wajah, begitu juga body language dan intonasi suara. Bahkan ketika kita baru putus dari kekasih yang sudah bertahun-tahun bersama, atau sedang sakit, ataupun didera masalah keluarga yang membuat kepala terasa berdenyut-denyut. Lupakan semunya, buang semuanya untuk sementara waktu, kunci semuanya dalam locker beserta dengan hati. Hati adalah yang paling wajib ditinggalkan sebelum flight dimulai. Seorang senior pernah berkata, hati ditinggalkan supaya tidak lecet, lebam ataupun trauma oleh kondisi, situasi dan manusia di tempat kerja. Semua action tadi dimulai bahkan sebelum kaki menginjak lantai aircraft. Tepatnya semua dimulai ketika menginjak lantai airport terutama briefing room. Karena pengalaman mengajarkan banyak hal.
Dulu sekali, waktu masih dibilang ‘very very junior’, seorang senior memelototiku karena memegang handphone dan berjalan bongkok menuju briefing room. Seorang maha senior juga membentakku di briefing room karena dia merasa aku ‘lack smile’ sejak itu aku tersenyum nonstop dan merasa muscle pipiku jadi kaku dan gigiku jadi kedinginan karena AC briefing room yang sedingin kutub utara. Baru-baru ini juga, aku sakit ringan dan memaksa diri untuk terbang, seorang maha senior lain menuduhku memberinya ‘black face’ karena mukaku yang sedikit saja pucat dan wajah yang sedikit saja layu, padahal aku sudah berusaha pasang senyum. Mungkin lain kali aku perlu blush on yang lebih pink. Setelah menuduhku memberinya black face, dia memintaku keluar dari flightnya kalau-kalau lain kali aku datang dengan wajah yang sama. Aku merasa perlu berhitung lagi, jika setiap kali sakit ringan aku harus izin sakit maka setahun aku bisa punya puluhan Medical Letter. Dimana itu artinya adalah sebuah ajang coffee and tea bersama HRD. Itu rasanya seperti masuk pengadilan kelas berat.  Ketika kutimbang-timbang lagi segi positifnya, setidaknya aku belajar untuk tampil (over) professional disini.

No comments:

Post a Comment