Visit My old blog

Sunday 20 July 2014

Kata

Kata




Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan harapan yang berselaput keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil mengkhianati dan menyiksa diri sendiri. Melimpahkan segala usaha untuk sebentuk cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.

Kalau ini ditumpahkan jadi sebuah film, aku mau setting musiknya jazz ballads yang sendu tapi sexy, Alfonzo Blackwell- The Seduction, then aktrisnya si Keira Knightly yang i don't know how to say, amazing. Dan yah, dia satu-satunya artis disini. Setting tempatnya ada di Singapore saja, dimana beberapa ras bisa campur dan desek-desekan di pulau sempit ini. Okay, i choose sebuah cafe and bar di Clarke Quay, mari menyetujui bahwa music diluar barnya adalah music yang tadi. Semua tempat duduk dan meja di luar bar adalah kayu tidak berpernis rata, penerangannya sendu, kuning temaram. Lilin dalam gelas ditengah mejapun jadi gemulai tertiup angin berbau jazz. Beberapa tumbuhan sulur merambati sisi-sisi pagar kecil yang membatasi meja, melilit-lilit tiang kayu berseling dengan bunga krisan putih.

Bila kamu duduk di salah satu kursi yang menghadap jalanan  tepat sebelum air mancur dan rainbow lightingnya, terlihat juntaian kain putih yang melilit tiang terbesar kafe melambai-lambai, seberkas cahaya kuning lampu gantung kafe menerawang dari baliknya. Membangun mood sendu yang menggerogoti kemudian membawa romansa dan ilusi tentang perjalanan cinta tingkat dewa. Kini Keira duduk di kursi itu, merasakan ilusi tadi. Segelas red wine masih ditimang timangnya di tangan, mencari cari moment disaat pertahanannya akan pikiran-pikiran sendu itu tak kuat lagi dijejalkan dalam otak. Memori membawanya pada sebuah definisi kegagalan. Memori tentang cinta di waktu lampau menggelayuti satu sisi otaknya yang dulu sempat tak tenang menerimanya. Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan harapan yang berselaput keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil mengkhianati dan menyiksa diri sendiri. Dirinya yang melimpahkan segala usaha untuk sebentuk cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.

Keira tersenyum dengan kaku, menghujani gelas wine dengan tatapan kosong. Seketika tatapannya beralih pada lilin yang berkerjap-kerjap. Ada kesadaran dalam sebuah analogi lilin yang berkerjap-kerjap dipontang-pantingkan angin. Mungkin kita selalu bisa mendapatkan tempat yang lebih layak untuk berteduh, seperti lilin yang benderang bila diletakkkan di tempat  dimana hanya ada desir angin yang halus, gelap malam yang sepi dan kelam. Tidak akan terlihat indahnya bila berakhir di siang bolong demi untuk mengusir lalat dari meja makan. Mungkin begitulah cinta, memaksa untuk jadi satu pada sebuah kondisi yang tidak memungkinkan, pribadi yang tidak tepat, dan lingkungan yang salah, hanya menciptakan berbagai shoot adegan pertengkaran yang berulang-ulang. Segala hal memang berbeda, cinta mungkin memang dari beberapa komposisi yang berbeda, tapi hanya perbedaan yang menyatukan yang bisa mereka sebut cinta. Bukan sekedar perbedaan yang dipaksakan tanpa indra mata untuk melihat ketimpangan dan perasa untuk memahami perasaan. Bahkan cinta memang tidak mempunyai takaran, resep atau rumus, karena cinta bukan dibeberkan dengan lidah, tapi dengan pikiran, tangan, kaki, gerak, yang berwujud effort.

Keira menghembuskan nafas pelan, membelalakkan mata dan berkerjap-kerjap mengusir air di sudut mata yang hampir menetes. Keheningan datang untuk beberapa menit, ada semilir sejuk melintasi rongga dadanya. Peluh yang selama ini ada di ubun-ubun terasa luruh menguap. Dulu terasa sakit, ketika semua orang melangkah dan berbaris untuk menjadi hakim akan kisah cintanya yang sudah cukup terlunta-lunta. Dia yang dulu meringkuk dengan mata sembab menatapi mereka yang pongah dan menjelma menjadi nenek sihir berwajah malaikat. Membualkan kata-kata buta yang hanya terdengar perih dan sinis di telinga dan hati. Itu dulu, dulu yang terasa sakit, dan ketika sakit melaju menjadi sebuah kenormalan yang menjentik, semua terasa lebih mudah.

 Keira tersenyum, semua kata-kata pahit, bualan janji, dan kekanak-kanakan hanyalah alas tangga yang terinjak dan telah terlewati. Sudah datang masanya. Sebuah masa ketika hujan berhenti, dan menyisakan pelangi yang melengkung di sisi langit, bersama aroma tanah yang menguap segar. Semua menyiratkan sebuah masa baru tanpa cela di masa lalu. Sudah habis masanya, masa dimana berduka dan meringkuk jadi saksi bisu kedewasaan yang tumbuh pada setiap detik yang dulunya terasa sakit. Keira menyorongkan gelas wine dan kursinya, seketika berdiri dan meraih tasnya. Kedermawanannya menyisihkan waktu untuk  merenung rasanya telah habis. Waktu yang kini tak akan termakan waktu yang lalu. Dan semua jejak masa lalu tetaplah disana, tanpa harus terbawa di masa kini dan masa depan.  


1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete