Kata
Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan
harapan yang berselaput keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil
mengkhianati dan menyiksa diri sendiri. Melimpahkan segala usaha untuk sebentuk
cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya
terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.
Kalau ini ditumpahkan jadi sebuah film, aku mau setting musiknya jazz
ballads yang sendu tapi sexy, Alfonzo Blackwell- The Seduction, then aktrisnya
si Keira Knightly yang i don't know how
to say, amazing. Dan yah, dia satu-satunya artis disini. Setting tempatnya
ada di Singapore saja, dimana beberapa ras bisa campur dan desek-desekan di
pulau sempit ini. Okay, i choose
sebuah cafe and bar di Clarke Quay,
mari menyetujui bahwa music diluar barnya adalah music yang tadi. Semua tempat duduk
dan meja di luar bar adalah kayu tidak berpernis rata, penerangannya sendu,
kuning temaram. Lilin dalam gelas ditengah mejapun jadi gemulai tertiup angin
berbau jazz. Beberapa tumbuhan sulur merambati sisi-sisi pagar kecil yang
membatasi meja, melilit-lilit tiang kayu berseling dengan bunga krisan putih.
Bila kamu duduk di salah satu kursi yang menghadap jalanan tepat
sebelum air mancur dan rainbow lightingnya, terlihat juntaian kain putih yang
melilit tiang terbesar kafe melambai-lambai, seberkas cahaya kuning lampu
gantung kafe menerawang dari baliknya. Membangun mood sendu yang
menggerogoti kemudian membawa romansa dan ilusi tentang perjalanan cinta
tingkat dewa. Kini Keira duduk di kursi itu, merasakan ilusi tadi. Segelas red
wine masih ditimang timangnya di tangan, mencari cari moment disaat
pertahanannya akan pikiran-pikiran sendu itu tak kuat lagi dijejalkan dalam
otak. Memori membawanya pada sebuah definisi kegagalan. Memori tentang cinta di
waktu lampau menggelayuti satu sisi otaknya yang dulu sempat tak tenang
menerimanya. Mengingat betapa jatuh bangun perasaan dan harapan yang berselaput
keraguan yang menahun. Keraguan yang terbentuk dari hasil mengkhianati dan
menyiksa diri sendiri. Dirinya yang melimpahkan segala usaha untuk sebentuk
cinta fana yang tak akan pernah tau arti sejati dan pengharapan. Kini semuanya
terasa lucu, menggelitik nadi dan syaraf otak.
Keira tersenyum dengan kaku, menghujani gelas wine dengan tatapan kosong.
Seketika tatapannya beralih pada lilin yang berkerjap-kerjap. Ada kesadaran
dalam sebuah analogi lilin yang berkerjap-kerjap dipontang-pantingkan angin. Mungkin
kita selalu bisa mendapatkan tempat yang lebih layak untuk berteduh, seperti
lilin yang benderang bila diletakkkan di tempat dimana hanya ada desir angin yang halus, gelap
malam yang sepi dan kelam. Tidak akan terlihat indahnya bila berakhir di siang
bolong demi untuk mengusir lalat dari meja makan. Mungkin begitulah cinta,
memaksa untuk jadi satu pada sebuah kondisi yang tidak memungkinkan, pribadi
yang tidak tepat, dan lingkungan yang salah, hanya menciptakan berbagai shoot
adegan pertengkaran yang berulang-ulang. Segala hal memang berbeda, cinta
mungkin memang dari beberapa komposisi yang berbeda, tapi hanya perbedaan yang
menyatukan yang bisa mereka sebut cinta. Bukan sekedar perbedaan yang dipaksakan
tanpa indra mata untuk melihat ketimpangan dan perasa untuk memahami perasaan.
Bahkan cinta memang tidak mempunyai takaran, resep atau rumus, karena cinta
bukan dibeberkan dengan lidah, tapi dengan pikiran, tangan, kaki, gerak, yang
berwujud effort.
Keira menghembuskan nafas pelan, membelalakkan mata dan berkerjap-kerjap mengusir
air di sudut mata yang hampir menetes. Keheningan datang untuk beberapa menit,
ada semilir sejuk melintasi rongga dadanya. Peluh yang selama ini ada di
ubun-ubun terasa luruh menguap. Dulu terasa sakit, ketika semua orang melangkah
dan berbaris untuk menjadi hakim akan kisah cintanya yang sudah cukup terlunta-lunta.
Dia yang dulu meringkuk dengan mata sembab menatapi mereka yang pongah dan
menjelma menjadi nenek sihir berwajah malaikat. Membualkan kata-kata buta yang
hanya terdengar perih dan sinis di telinga dan hati. Itu dulu, dulu yang terasa
sakit, dan ketika sakit melaju menjadi sebuah kenormalan yang menjentik, semua
terasa lebih mudah.
Keira tersenyum, semua kata-kata
pahit, bualan janji, dan kekanak-kanakan hanyalah alas tangga yang terinjak dan
telah terlewati. Sudah datang masanya. Sebuah masa ketika hujan berhenti, dan
menyisakan pelangi yang melengkung di sisi langit, bersama aroma tanah yang
menguap segar. Semua menyiratkan sebuah masa baru tanpa cela di masa lalu. Sudah
habis masanya, masa dimana berduka dan meringkuk jadi saksi bisu kedewasaan
yang tumbuh pada setiap detik yang dulunya terasa sakit. Keira menyorongkan
gelas wine dan kursinya, seketika berdiri dan meraih tasnya. Kedermawanannya
menyisihkan waktu untuk merenung rasanya
telah habis. Waktu yang kini tak akan termakan waktu yang lalu. Dan semua jejak
masa lalu tetaplah disana, tanpa harus terbawa di masa kini dan masa depan.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete